RSS

Kisah Aku dan Dia ~ Kita, Kaca dan Air

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Sang waktu terkadang dengan pelan mengaburkan keberadaan sebuah ingatan. Menyembunyikannya di sela-sela kesibukan yang tak berujung. Rutinitas. Sesuatu yang terkadang mengurungku namun tak mungkin bisa kuhindari. Keberadaannya kadang membuatku melupakan sebagian memori yang dulu pernah singgah di kehidupanku. Diam-diam kucoba menghentikan sang waktu, aku duduk di pojok perpustakaan, menyegajakan diri menggali memori yang selama ini terlupa. Tanpa sadar sekelebat bayangan muncul. Ya, dia yang selama ini terlupakan. Yang bahkan kabarnya pun tak pernah sempat kutanyakan.
                                        _____________________
        Aku masih ingat waktu itu, ketika dengan tegas aku menolak tawaran Guruku untuk masuk jurusan IPA di tahun kedua masa SMA ku. Sebuah pilihan besar yang mengubah hidup damaiku.  Aku tahu untuk diriku yang berpredikat ‘anak baik’, masuk jurusan IPS yang terkenal dengan kebadungan siswanya adalah pilihan yang cukup menantang. Namun tetap kujalani, karena aku lebih takut pada horornya fisika dan segala yang berbau hitung-menghitung daripada streotyping orang terhadap pilihanku. Dan disinilah aku sekarang, termenung menatap pengumuman pembagian kelas di depan ruang piket yang terbuka. Sederetan nama tertulis disana, termasuk namaku. Sayangnya tak satupun nama yang kukenal terpampang disana, semuanya asing. Aku mulai menghela nafas membayangkan akan bagaimana jadinya masa SMA ku bersama orang-orang asing ini. Semua sahabatku masuk jurusan IPA, cuma aku yang maksa ingin masuk IPS karena trauma pada semua yang berbau ‘rumus’. Dan sudah sepatutnya aku tidak mengeluh karena hal ini.
        Ditengah kekhawatiran tentang masa remajaku,Ros, sahabatku menyapa. “Ta, lagi ngapain? Ko mukanya suram banget..” tanya Ros dengan wajah heran. Aku cuma nyengir sambil berkata datar,”lagi liat pengumuman pembagian kelas, gak ada yang aku kenal, jadi bingung bakal duduk sebangku sama siapa ya..”. Ros lalu membaca sederetan nama tersebut dan tersenyum, “Ada Riska ko di kelasmu, sebangku sama dia aja, dia baik anaknya..”. Aku terdiam sambil mengingat-ingat satu nama yang masih asing ditelingaku, “Riska yang mana ya? Kayaknya gak pernah ketemu..”. “Hmm, itu lho yang tinggi banget, berjilbab, dia kan anak kelas sebelah, masa gak pernah ketemu.. “  Tiba-tiba Ros menoleh ke arah belakangku dan berseru,” Nah itu Riska.. “. Aku menoleh dan melihat seorang jilbaber yang tengah melangkah tergesa-gesa di ujung lorong dekat ruang piket. Ku panggil namanya, “Riskaaa..”. Dia menoleh, tanpa pikir panjang kulontarkan tawaran itu, “Kamu jadi teman sebangku ku ya?”. Dia hanya mengangguk dengan wajah bingung dan meneruskan perjalanannya yang sempat tertunda. Sekarang aku bisa bernafas lega, setidaknya sudah ada yang kukenal di kelas ini.
        Riska Dewi. Sebuah nama yang sering dipakai oleh orang-orang. Baik Riska maupun Dewi, sama pasarannya. Namun, kepribadiannya sangat tidak pasaran. Sering sekali aku terheran-heran dengan tingkah cueknya yang terkesan tomboy dan caranya mengenakan jilbab yang sering tidak rapih (hehe). Kita seperti Kaca dan Air, dua benda yang tercipta dari formula yang berbeda namun memiliki sisi yang sama, bening.  Kamu supel dan aktif membantu orang-orang, makanya cepat akrab dengan teman sekelas. Lain  halnya dengan diriku yang agak pemalu tapi juga aktif di organisasi, aku selalu kagum dengan caramu berteman akrab dengan yang lain. Tak banyak kata yang mampu merepresentasikan dirimu, aku pun bingung jika diminta untuk menggambarkan dirimu.  Rajin dan mandiri. Dua kata yang kamu banget. Aku masih ingat bagaimana tercengangnya diriku di minggu kedua kelas dua SMA, kau sudah menyelesaikan hampir seluruh pertanyaan di LKS (Lembar Kerja Siswa) sejarah yang jawabannya super panjang itu. Padahal LKS itu diperuntukkan untuk satu semester. Belum lagi dengan LKS pelajaran lain, sebagian besar sudah kau kerjakan.  Aku merasa menjadi mahluk super malas jika ada didekatmu. Tak berhenti disitu, kaupun selalu mencoba mengerjakan berbagai soal sendiri, baru jika menemukan kesulitan, kamu akan bertanya pada guru besar kita, Darae. Itu contoh kecil dari kemandirianmu.
        Hey, masih ingatkah pada kegiatan rutin kita bersama dua sahabat lain yang duduk dibelakang kita? Darae dan Jabeth. Layaknya F4, kita berempat selalu bersama. Mengerjakan tugas bersama, menggosip bersama, menggila bersama bahkan mengeceng orang disaat yang sama. Kita selalu satu kelompok dalam mengerjakan tugas. Yang paling lekat dalam ingatanku adalah tugas merangkum sejarah. Kau selalu selesai lebih cepat daripada kami. Dan dari situlah Darae mencetuskan ide, “Jadi Riska kan udah beres, Tarul kamu rangkum punya Riska, Jabeth Rangkum punya Tarul, dan aku sesi akhir ngerangkum punya Jabeth, biar pendek,hehe”. Begitulah siklus merangkum rutin selama 1 tahun. Kamu gak pernah protes dengan keputusan itu, karena kita tahu kalau kita saling membutuhkan. Kamu yang rajin sekali mengerjakan tugas, Darae yang entah kenapa jenius di semua mata pelajaran (kecuali agama dan bahasa sunda), jabeth sang seksi konsumsi dan aku yang sampai detik ini gak tahu apa fungsiku diantara kalian (Kalau ada yang tahu cepet hubungi aku ya?^0^). Intinya pada saat itu, kita berempat hidup dalam dunia simbiosis mutualisme yang diikat oleh kata ‘persahabatan’.
        Kita memang selalu berempat, namun kenangan antara kita juga tak kalah banyaknya. Aku masih ingat wajah super bahagiamu disuatu pagi yang padahal aku tahu ada ulangan matematika dan akuntansi hari itu. Aku bahkan berwajah murung karena belum belajar. Baru masuk kelas kau berteriak, “Ta, PERSIB menaang!! Aerlangga nyetak goool !!”. Kamu berjingkrak-jingkrak sambil mengguncang bahuku, aku Cuma bengong melihat tingkahmu sambil berpikir ‘siapa itu Aerlangga?’ berhubung aku tidak pernah kenalan dengan dunia persepakbolaan Indonesia jadi aku minim pengetahuan tentang ini. Ya, itulah dirimu, maniak sepakbola stadium akut. Aku sering mendapatimu berdebat bersama Darae, Sumer, Mijre dan Citreh tentang pertandingan bola yang menurutku abstrak. Ketika kalian heboh dengan argumen kalian, aku, Jabeth dan Martin hanya geleng-geleng tidak mengerti. Dilain pihak aku mengingatmu yang begitu bangga dengan sinetron ‘Cinta Fitri’ dan ‘Sang Pencari Tuhan’. Bangga dengan produk negara sendiri, itulah sloganmu. Sering kau melontarkan sindiran ringan kepada diriku yang bahkan sama sekali tidak mengenal lagu Indonesia ataupun sinetron. Aku menyukai segala sesuatu bernuansa Jepang-Korea yang tidak pernah ada dikamusmu. Kau selalu protes ketika aku membaca komik disela-sela waktu belajar. Kau berkata,”Apaan sih buku isinya kotak-kotak kayak gini susah dibaca..Aku mah mana mau baca yang kayak ginian”. Aku cuma melayani ledekanmu dengan kalimat “Setidaknya aku bukan korban sinetron”. Ya, itulah kita. Kaca dan Air, dua benda dengan formula berbeda, Solid dan liquid.
        Kita memang bertolak belakang, tapi ada satu hal yang sama diantara kita, yaitu sama-sama ber’bekal’ terbatas. Kesulitan finansial tidak membuat kita menyerah dikurung lapar pada jam istirahat. Beruntung kita hidup didekat mini market berjalan, Jabeth. Sering kita menerima sumbangan makanan darinya. Namun, sebagai manusia yang berharga diri ‘cukup’ kamu pernah berkata,”Kita gak boleh nerima sumbangan mulu, kita juga harus berjuang.. Biar ke-bokek-an kita bermanfaat, Yuk kita puasa ajah? Sekalian nambah pahala..”. Usulanmu kutanggapi dengan positif, aku memberikan tambahan,”Sekalian ajah di hari lain kita puasa jajan pake duit sendiri kalo bokek, jadi kita baru jajan kalo ada yang nraktir, stuju?”. “Setujuu..” timpalmu. Program ini kita laksanakan selama setahun, belum lagi usulanmu yang mengajakku cuma beli permen loli ketika istirahat, biar awet. Tak lupa untuk selalu membawa bekal makanan dari rumah jika tidak puasa. Semua ide itu, untuk mendukung program berhemat kita. Itulah kita, Kaca dan Air. Keduanya sama-sama bening. Layaknya kita, sama-sama cerdas dalam mencari ide demi sebuah kesejahteraan.
        Ada satu benda yang selalu mengingatkanku padamu, benda yang tak begitu penting dimata orang lain namun berharga bagiku. Jambu batu. Sekalipun kita berada dalam satu bangku selama satu tahun, tapi tidak pernah sekalipun aku bertandang kerumahmu, bahkan hingga detik ini, setelah hampir 4 tahun kita bersahabat. Kau selalu bercerita kalau didepan rumahmu yang sederhana itu, tumbuh sebatang pohon Jambu batu yang kokoh, yang selalu berbuah setahun sekali. Aku yang menyukai jambu batu langsung saja memesan dibawakan jambu jika pohonnya berbuah. Tapi dengan satu syarat, jambunya yang sudah kuning matang dan tidak keras. Karena syarat inilah kau selalu meledekku ‘nenek-nenek’. Aku tidak peduli selama kamu berjanji memberiku Jambu batu yang sesuai dengan pesananku. Pernah suatu hari kau meminta maaf dengan sungguh-sungguh karena kau lupa membawa Jambu yang kau janjikan, aku memaafkanmu. Namun, tak disangka keesokan harinya kau malah membawakan sekeresek jambu yang ranum dan ‘matang’. Sejujurnya, aku bahagia sekali, mungkin ini memang tidak seberapa, namun kesungguhanmu dalam mengingat kata-kataku benar-benar membuatku tersentuh.
                                        ________________________
        Sudah setahun kita tidak berjumpa, bahkan berkomunikasi via sms pun tidak. Aku yang saat ini melanjutkan pendidikanku di Jakarta, hanya mengetahui kabarmu yang bekerja sebagai admin di sebuah kantor di Bandung. Jujur, sering aku melupakanmu. Terutama ketika sang waktu yang berwujud rutinitas kembali mengekangku. Tapi, ada waktu-waktu khusus dimana kenangan diantara kita kembali merebak. Ketika melihat kata ‘PERSIB’ dan ‘Aerlangga’, ketika melihat orang ‘KuTiLang’ (Kurus Tinggi Langsing) berjilbab di pinggir jalan, ketika mendengar lagu Yovie and the nuno, ketika melihat iklan ‘Cinta Fitri’ yang sudah sampai session 7 gak tamat-tamat, dan ketika memakan Jambu batu yang lumayan lembek. Ya, pada saat itulah, aku mengingatmu yang tomboy, yang rajin tingkat tinggi, yang bertolak belakang karena hobi yang berbeda, dan yang selalu membuat hari-hariku ceria ditengah kebadungan anak-anak IPS. Kamu, sahabat yang terlupa namun sering kurindukan. Dan kenyataan bahwa kita seperti Kaca dan Air, dua benda dengan formula yang berbeda namun memiliki sisi yang sama,bening. Kita saling menerima satu sama lain dengan segala perbedaan yang kita miliki karena kita memiliki satu kelebihan yang sama. Yaitu beningnya hati yang selalu mengharapkan persahabatan yang tulus kekal hingga akhir hayat.

Di sudut Perpustakaan, 06/01/2011
Spesial untuk dia yang menemaniku duduk di bangku yang sama.
Terima kasih telah melukis hari-hariku dengan cat warna-warni.
Aku  selalu menyayangimu, sahabatku.
        

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar