Tepat pukul 04.30 dini hari Mama selalu sigap membangunkanku untuk makan sahur. Tetapi entah kenapa rasanya hari ini malas sekali, bahkan untuk sekedar membuka kelopak mata pun enggan. Sekalipun suara Mama sudah seperti alarm yang membahana di rumah imutku ini, namun tubuhku seakan tak bergeming. Mama masih tidak menyerah, berbagai cara beliau lakukan dari mulai cuma manggil-manggil sampai manggil-manggil plus ancaman beliau gaungkan padaku. Karena tidak ingin membuat tekanan darah Mama makin naik, akhirnya aku paksakan untuk bangun. Sebenarnya, aku adalah tipe yang tidak selera makan di dini hari, tapi demi melaksanakan ibadah dan membuat hati Mama tenang, pasti akan kukerjakan.
Sehabis sahur, masih ada sedikit waktu kosong sampai adzan shubuh berkumandang. Aku sempatkan diri untuk membuat sebuah bunga dari kain flanel yang rencananya akan kuberikan pada sahabat yang akan kukunjungi hari ini. Setelah merampungkan hasil karya sederhana itu, cepat-cepat aku beranjak menuju mushola imut yang terletak di belakang rumah. Dingin menerpa pipiku, udara shubuh di Bandung memang selalu membuat badan menggigil segar. Setelah menunaikan ibadah wajib, aku sedikit terdiam sejenak karena tiba-tiba kudengar suara seseorang mencuci piring di samping musholla. Bunyi yang tidak asing dan sudah setahun lebih hilang dari rumah ini. Aku kembali teringat kalau rumah yang dulunya ditempati Ibu sekarang sudah ada yang mengontraknya. Dengan masih terbalut kain mukena putih, perlahan aku mengintip. 'Siapa ya yang nyuci pagi-pagi gini?', tanyaku dalam hati. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati Kakek yang usianya sudah senja sedang tekun mencuci piring di tempat itu. Ya, tempat yang sama yang dulu sering dipakai sosok yang selama ini selalu kurindukan. Aku kembali ingat kalau Ibu-ibu baru yang mengontrak itu tinggal bersama ayahnya. Sejenak aku menarik nafas karena memori yang selama ini kukubur kembali menyeruak. Ya, hari itu.. Hari yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
27 Februari 2010
Hatiku masih merasa takut karena kejadian yang baru saja aku alami. Betapa tidak, tasku baru saja disobek oleh dua orang pencopet di sebuah kereta umum. Alhasil handphone yang baru saja kumiliki selama satu bulan raib. Panik? jangan ditanya, namun aku masih tetap bersyukur pada Yang Maha Kuasa karena nyawaku masih selamat. Masalahnya, HP itu adalah pemberian Papa, aku tidak tau dengan cara apa aku memberitahu beliau. Aku sangat merasa bersalah.
Sesampainya di kosan, aku mencoba untuk meng-sms Mama menggunakan HP teman sekamarku, siapa tau Mama bisa membantu menjelaskan pada Papa. Tak lama waktu berselang, tiba-tiba di layar HP temanku itu tertera nomor Papa. Papa menelpon, takut sekali rasanya mengangkat telpon itu. Namun, bagaimanapun aku harus berani untuk bertanggung jawab atas benda yang aku miliki. Diluar dugaan, Papa menelpon bukan untuk memarahi karena HP hilang, tapi untuk menyampaikan sebuah berita. Berita yang dengan mendengarnya saja sudah membuat jantungku berhenti sedetik. "Teteh, yang sabar ya.. Innalillahi.. Ibu sudah meninggal tadi pagi jam delapan..", ucap Papa pelan. 'Deg! deg..' jantungku terus berdegup semakin cepat, lemas terasa disekujur tubuhku. Tak ayal lagi air mata dengan cepat membanjiri wajahku yang sudah tak tahu bagaimana rupanya. Karena kaget melihatku yang tiba-tiba menangis, Shopia, teman sekamarku segera memeluk dan menenangkanku. Aku tidak sanggup berkata-kata ataupun memikirkan apa-apa lagi, yang ada dipikiranku hanya satu sosok itu saja.
Ini adalah perjalanan pulang pertama ke Bandung dimana perasaanku sudah tak tentu rasanya. Satu yang kuinginkan adalah aku cepat sampai ke rumah. "Ya, Allah ijinkankanlah aku melihat satu sosok itu lagi, sekali saja.." doaku sepanjang perjalanan.
Tubuhku seakan membatu melihat bendera kuning itu tertancap di depan rumahku. Dengan pelan aku melangkah mendekati rumah ber cat krem yang tidak asing itu. Banyak orang berkumpul sedang mendo'akan almarhum Ibu. Melihatku yang terpaku di depan pintu, Papa segera membimbingku masuk dan mendudukkanku di rumah belakang, rumah Ibu. Perih, sakit, sesak.. aku tak bisa lagi membendung air mata yang sudah menggenang sedari di bus tadi. Papa meninggalkanku sendiri untuk memberikanku waktu untuk tenang. 'Kenapa Bu? Kenapa harus pergi disaat aku belum mengucapkan sepatah katapun terima kasih untukmu? aku bahkan belum pernah sekalipun meminta maaf atas semua kesaahan yang aku perbuat.. Aku bahkan tidak sempat bertemu denganmu dulu karna engkau telah dikebumikan.. Ibu.. Ibu..' pertanyaan itu terus menghantuiku selama beberapa hari.
Aku tinggal di Bandung selama seminggu untuk membantu Mama menyiapkan banyak hal setelah kepergian Ibu, juga untuk mengabari seluruh keluarga kami. Setiap hari, banyak orang berdatangan untuk melayat. Aku memaksakan diri untuk selalu tersenyum di hadapan mereka, padahal sesak ini sudah memenuhi rongga dadaku. Aku masih ingat, aku tidak menangis sama sekali ketika nenekku meninggal. tetapi, aku selalu menangis setiap terkenang pada dirimu,Bu. Kenapa ya? Kenapa sebegini sedihnya ditinggalkan oleh orang yang bahkan tidak ada hubungan darah sama sekali denganku. Aku masih tidak bisa menghentikan memori otakku yang terus-menerus memutar kenangan diantara kita.
"Ibu.." begitu aku memanggil sosok paruh baya yang selama ini mengisi 18 tahun kehidupanku. Beliau adalah orang yang selama ini kusangka nenek kandungku sampai kuketahui kebenarannya, bahwa beliau adalah istri kedua dari kakekku. Namun itu bukanlah penghalang yang bisa menghancurkan rasa sayangku padamu. Ibu mengasuhku semenjak aku bayi karena Mama sibuk mencari nafkah selama Papa menganggur. Makanya, dibandingkan dengan Mama, dulu aku jauh lebih dekat dengan Ibu karena sang waktu membuat kita selalu bersama. Ibu dari dulu selalu sabar menghadapi aku yang kata Mama "goreng adat (sifatnya jelek)", maklum anak pertama biasanya memang manja dan egois (karena pada waktu itu aku belum punya adik, jadi semua kasih sayang tumplek padaku). Banyak orang yang bilang aku cucu kesayangan Ibu, kemana-mana selalu dibawa-bawa. Aku yang masih bocah polos tidak tau apa-apa pada saat itu senang-senang saja diajak jalan-jalan.
Ibu, sosok paling tegar yang pernah aku kenal. Beliau ditinggalkan ayah dan ibunya ketika berumur dua tahun, pada saat itu masih zaman perang kemerdekaan. Dulu, anak gadis harus sudah dinikahkan di umur belasan tahun, makanya ketika beliau berumur 12 tahun, beliau sudah menikah dengan Pak Suwaji, lelaki yang berumur 20 tahun lebih tua daripada Ibu. Kata Ibu, Pak Suwaji itu orangnya baik sekali, selalu mengepangkan rambutnya di pagi hari dan sangat menyayangi Ibu. Namun, ketika Ibu beranjak dewasa, Pak Suwaji meninggal karena sakit. Makanya, sebelum meninggal, Pak Suwaji berpesan pada kakekku untuk menjaga Ibu, menggantikan dirinya. Semenjak itu, Ibu tinggal bersama kakekku. Tinggal bersama Kakek, yang biasa aku panggil Mbah, bukanlah hal yang mudah. Mbah adalah seseorang yang keras sekali, perangainya mungkin tidak bisa dibilang baik. Aku saja sering sekali marah pada Mbah. Namun, Ibu selalu sabar melayani Mbah. Aku tidak tau apakah ada cinta diantara mereka karena seringkali aku bertanya pada Ibu ''Ko Ibu tahan sih hidup sama Mbah?'', Ibu tersenyum dan berkata ''Ini jalan yang diberikan Allah, Neng.. yang harus Ibu lakukan hanya menjalaninya dengan ikhlas.. Ibu anggap ini sebagai ibadah..''. Aku langsung terdiam mendengar jawaban Ibu, 'Ya Allah betapa besar hati Ibu menerima takdirMu, semoga Engkau selalu memberikan yang terbaik untuk Ibu' doaku dalam hati. Padahal sebenarnya Ibu dimusuhi oleh semua anak-anak Mbah kecuali ayahku karena paman dan bibiku itu menganggap Ibu telah merebut Mbah dari Nenekku. Maklum, Mbah lebih betah tinggal bersama Ibu. Ibu tidak banyak protes dan sangat sabar. Walaupun tau dirinya banyak dibenci oleh anak-anak Mbah, namun Ibu tetap tidak gentar, hanya sesekali beliau bercerita betapa sakit hatinya beliau atas semua perilaku anak-anak Mbah itu, Ibu bercerita padaku yang hanya bisa menanggapinya dengan senyuman miris. Jujur, Aku tidak suka sekali dengan saudara-saudara Papa itu atas apa yang mereka perbuat pada Ibu, semoga Allah membalas semua perbuatan mereka.
Kalau lebaran, rumah kami selalu dipenuhi parcel dan kue-kue kiriman dari orang-orang yang menyayangi Ibu. Ibu orangnya baik hati dan tidak pernah segan untuk menolong orang lain. Beberapa kali, Ibu selalu berkata begini padaku, "Neng, kalo Ibu udah ga ada, tar ga ada yang ngirim kue lagi lho..". Aku selalu memarahi Ibu kalau beliau berkata seperti itu, aku kan sayang banget sama Ibu. Ibu selalu menceritakan banyak hal padaku. Katanya, aku adalah anak yang banyak rejekinya, disayang banyak orang dan aku akan menjadi penopang keluarga di masa depan. aku selalu senang mendengarkan cerita Ibu hingga aku pun mulai beranjak dewasa.
Aku yang sudah remaja ini jarang ada di rumah, maklum kegiatan organisasi yang padat dan masa dimana lagi senang-senangnya bermain sudah tiba dalam hidupku. Aku selalu pulang larut. Waktu untuk bersama Ibu jelas berkurang. Sering beliau memintaku untuk tidur bersamanya, tak sedikit juga aku tolak karena alasan tugas atau karena memang aku sedang malas. Aku asik dengan kehidupanku sendiri dan sedikit demi sedikit mulai melupakan Ibu. Ibu yang semakin tua mulai sakit-sakitan dan tidak mau makan, padahal kesehatannya sudah semakin memburuk. Kalau tidak mau makan, Ibu sering memintaku membelikan roti coklat dan kopi susu atau kupat tahu yang nanti kalau tidak habis pasti diberikan padaku. "Kalau makan makanan bekas orang tua nanti pasti panjang umur Neng.." begitulah katanya. Aku hanya manut saja karena mendebatnya pun percuma. Walaupun badannya sudah lemah, Ibu masih tetap rajin. Menyapu teras, bersih-bersih rumah, memompa air dan mencuci piring, semua beliau kerjakan sendiri. Berulangkali kami meminta beliau untuk beristirahat, namun beliau bersikeras menolak karena jika berdiam diri maka beliau akan bertambah sakit. Akhirnya kami pun hanya menurut saja. Aku masih ingat wajah bahagia Ibu ketika gaji pertamaku aku gunakan untuk membelikan obat gatal untuknya. Pada saat itu sore hari sepulang kerja aku kembali menjenguk Ibu, dengan lirih aku berkata padanya,"Bu, jangan meninggal dulu ya..". Ibu lalu menggenggam tanganku dan tersenyum,"Ibu pasti liat Neng nikah nanti..". Aku merasa lega mendengar kata-kata Ibu itu.
Tidak lama setelah itu, aku mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliah di Jakarta. Semua orang bangga sekali kepadaku, dan Ibu adalah orang yang paling bangga padaku. Kuliah di Jakarta membuatku harus meninggalkan rumah dan mulai hidup mandiri. Sering memang aku bermelankolis ria karena 'homesick', namun aku tidak boleh menyerah. Terkadang Ibu menelpon dan berkata ingin bertemu, memintaku untuk sering-sering pulang. Tetapi, keterbatasan biaya membuatku enggan sering pulang, cukuplah ketika liburan semester saja. Kalau pulang ke bandung pun sebagian besar waktuku kuhabiskan bersama teman-teman, itu membuat Ibu semakin kesepian. Aku masih sering menolak permintaan beliau untuk tidur bersama, karena aku pikir aku masih bisa melakukan itu di lain hari. Namun, ketika mengingat semua itu sekarang, yang terasa hanyalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. 'Kenapa dulu aku selalu menolak permintaan Ibu? Kenapa aku begitu pelit membagi waktuku untuknya hanya karna dalih kesibukan? Kenapa ketika aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya aku malah sangat menginginkan untuk tidur bersamanya? kenapa selama ini kamu begitu egois, Ta??!' begitulah keadaanku jika teringat pada Ibu.
Sekarang, satu tahun sudah berlalu. Rumah ini masih sama seperti dulu, hanya ada sedikit perbaikan disana-sini. Ibu sudah tidak ada lagi, begitupun Mbah yang juga menyusul Ibu beberapa bulan kemudian. Rumah Ibu sekarang sudah ditempati oleh orang yang mengontrak pada Mama. Meskipun semua orang bilang Ibu sudah meninggal, namun bagiku beliau masih ada disini, selalu, dirumah ini. Terkadang jika sedang sendirian dirumah, aku masih bisa mendengar suara Ibu yang memanggilku pelan "Neng Ita.." begitu selalu beliau memanggilku. Aku masih bisa mengingat senandungnya ketika menyapu teras, aku selalu merindukan masakannya yang walaupun memakai bawang tapi tetap bisa aku makan. Dan aku seakan masih bisa melihat sosoknya yang duduk diatas 'jojodog' (bangku kayu kecil) disana, di pojokan rumah yang dia pakai sebagai dapur, memasak, sambil menyenandungkan lagu-lagu yang tidak pernah kukenal. Setelah itu, mungkin aku akan kembali masuk ke kamarku, menangis.
Ibu, sekarang aku sudah beranjak dewasa, sebentar lagi dua puluh tahun. Tetapi, aku masih saja kekanak-kanakan, masih suka cengeng. Walau aku tau Ibu sudah tidak ada, tapi aku masih akan menagih janji Ibu lho yang katanya akan datang ketika aku menikah nanti.. Aku, sampai detik ini masih menangis jika mengingat Ibu, maafkan aku Ibu, Aku terlalu sayang pada Ibu. Makanya, aku hanya bisa berdoa untukmu dan memohon pada Allah agar kita bisa bertemu lagi nanti di alam sana, sehingga aku bisa meminta maaf, berterima kasih dan menangis di pelukanmu lagi. Amiin..
19 Agustus 2011
10.15 pagi
Bersama senandung Ebiet.G.Ade, menahan tangis..
P.S : Lakukanlah yang terbaik untuk orang yang kamu sayangi, jangan pernah menundanya ataupun menolak permintaannya, karena kita tidak tahu kapan takdir Allah akan memisahkan kita dengan orang itu.. SemangkA kawaan.. (Mulyani,2010) :)
0 komentar:
Posting Komentar