Senja yang kelabu menemaniku yang sedang berjalan dengan gontai menuju kosan tercinta. Lelah sudah mengantar kedua temanku berkeliling Mampang Prapatan hanya untuk mencari semangkuk mie ayam. Namun sudahlah, bukankah ini yang sering orang-orang sebut sebagai solidaritas. Sekalipun kamu sedang capek atau malas tapi tetap harus membantu teman yang kebingungan mencari tukang mie ayam dan ternyata setelah mereka berhasil bertemu dengan tukang mie ayam, mereka malah menyuruhku pulang dengan manisnya. Jadi inikah hasil dari sebuah solidaritas? Ironis memang.
Tak terasa langkah demi langkah semakin mempersempit jarak menuju kosan. Sebuah rumah tua bercat putih gading yang masih berdiri kokoh diapit oleh rumah-rumah mungil di daerah yang padat penduduk ini. Di tengah berbagai pemikiran yang berloncatan mengenai solidaritas, aku melihat pintu pagar kosan yang terbuka setengahnya. Di dalam hati aku bertanya-tanya ‘Lho? ada siapa ya?’. Ketika aku perlahan menggeser pintu pagar itu, kulihat seorang lelaki paruh baya tengah duduk sendirian di kursi depan. Kuperhatikan dengan seksama sambil berjalan mendekat, ternyata lelaki itu adalah Ayahku. Aku sangat gembira namun juga bertanya-tanya dalam hati, ‘Waah ada apa nih Papa datang ke kosanku?’. Lalu kuhampiri Papa dan mencium tangannya. Sepintas kulihat sekotak kardus tergeletak manis di sebelah Papa. “Baru pulang kuliah?” Papa bertanya sambil tersenyum. “Iya..capek banget nih, Papa tumben-tumbenan kesini, ada apa, Pa?” Kutanya beliau sambil melirik-lirik ke arah kardus. “Ini Papa nganterin oleh-oleh dari Mama” lalu diambilnya kardus yang sudah sedari tadi kuperhatikan dan diserahkannya padaku. Dengan semangat kuterima kardus itu, ‘Waah lumayan berat juga nih’ pikirku. “Ini isinya apa?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan kardus itu. “Ooh, itu isinya kerupuk, terus ada jeruk juga” Papa berkata sambil sesekali memasukan ujung kelingkingnya ke lubang hidungnya, mengupil. ‘Ya ampuun, Papa ini di depan anak mu lhoo,ko nggak ada jaim-jaimnya,hehe’ pikirku sambil nyengir maklum. Lalu aku menyambung pembicaraan dengan Papa, “Makasih ya Pa, udah di anterin. Mau masuk dulu yuk ke dalam?”. Papa hanya menggeleng dan berkata,” Nggak usah, sebentar lagi maghrib, Papa langsung pulang saja ya”. Tidak lama setelah mengatakan itu papa pun berlalu, meninggalkan diriku yang masih melongo memikirkan Papa yang seperti semilir angin saja, datang dan cepat perginya. Akhirnya aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil masuk ke dalam kosan.
Terseok-seok kulangkahkan kakiku dengan berat sambil membawa kardus yang cukup berat juga. Perlahan kunaiki tangga di kosan yang berbentuk melingkar. Menuju kamarku yang terletak di lantai dua tepat di pojok lorong. Sesampainya di kamar, segera kulemparkan diriku ke atas kasur nan empuk, “Waa capeek!” aku berteriak kecil. Ketika masih terlena dengan empuknya kasur, tiba-tiba aku teringat oleh-oleh yang dikirim Mama dan bergegas membukanya. “Waaah.. alhamdulillah” aku terkesima melihat isi kardus itu. Ada Jeruk, Keripik Pisang, Kerupuk Gadung dan Rangginang, semuanya adalah makanan yang aku sukai. Lalu tertegunlah diriku untuk beberapa saat, tiba-tiba perasaan rindu datang menyergapi hatiku. Berbagai memori menyeruak di dalam kepalaku seperti flashback dalam sebuah film. Entah mengapa semua memori yang muncul itu tentang Mama. Tentang betapa besar kasih sayangnya, sekalipun aku tahu disana beliau bersusah payah untuk mengatur keuangan keluarga tetapi beliau masih saja menyempatkan diri untuk mengirimiku makanan. Padahal disini pun bisa saja aku membeli semua makanan itu dengan uang beasiswaku. Aku bahkan bisa membeli makanan yang lebih enak, tetapi entah mengapa paket ini terasa sangat sangat spesial bagiku.
Kuambil sebuah jeruk dan mengupasnya dengan khusyuk. Sambil memakan jeruk itu, perlahan-lahan ingatanku seakan kembali ke masa lalu, dimana aku masih memakai seragam putih abu. Aku ingat dulu Mama selalu menyempatkan diri untuk membeli buah-buahan ke pasar. Beliau bilang anak-anaknya harus banyak makan buah-buahan, biar sehat. Padahal untuk membeli kue keju kesukaannya saja beliau masih berpikir panjang, tetapi untuk anak-anaknya beliau sama sekali tidak pernah berpikir dulu ataupun merasa sayang untuk mengeluarkan uang. Subhanallah...betapa murni kasih sayang seorang Ibu. Pelan-pelan kulahap jeruk itu, rasa manis menghinggapi lidahku. Sedetik kemudian dua tetes air bening perlahan mengalir di pipiku disusul dengan berpuluh-puluh tetesan berikutnya. Aku merasa manisnya jeruk ini benar-benar sama dengan manisnya kasih sayang Mama. ‘Aku merindukanmu, Ma..’ sayup-sayup aku berbisik di sela tangisanku. Ya Allah, tersampaikankah luapan perasaan ini kepada Beliau?
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke lapangan untuk berlatih futsal aku memberikan sebagian jeruk itu kepada teman-teman kosku yang akan menjalani rutinitas hari ini. Aku ingin mereka juga ikut merasakan manisnya kebaikan hati Mama dan aku juga ingin memberikan sebagian semangatku pada mereka. Aku sangat bahagia melihat mereka tersenyum ketika menerima jeruk itu. Sungguh, berbagi adalah hal paling membahagiakan yang bisa kurasakan pada waktu itu.
Hari pun bergulir, tak terasa siang sudah menjelang dan aku pun sudah selesai latihan futsal. Latihan hari ini sungguh berat. Memang posisi sebagai kiper menuntutku untuk memiliki kaki yang kuat, tetapi untuk diriku yang tidak pernah berolah raga ini, melompat ke kiri dan ke kanan setengah berjongkok sebanyak lebih dari 20 kali dan ditambah dengan berlari keliling lapangan sebanyak 6 kali benar-benar berefek dahsyat. Rasanya untuk menggerakkan kaki satu langkah saja sudah membuatku sangat enggan. Untuk kedua kalinya, aku harus pulang ke kosan dengan langkah yang gontai.
Ketika terbangun keesokan harinya, aku merasa kakiku seperti terlilit erat oleh tali tambang. Kedua kakiku benar-benar terasa sakit, sehingga untuk menggerakkan kaki satu langkah saja sudah membuatku harus menggigit bibir saking sakitnya. Tetapi, karena keadaan mengharuskanku untuk pergi kuliah, terpaksa harus kuseret kedua kaki ini. Ketika berada dalam keadaan seperti inilah aku benar-benar merasa benci pada tangga! Tangga melingkar yang ada di kosan itu sangat licin jika basah , mana sempit pula. Disaat seperti ini aku benar-benar berharap memiliki jin lampu yang bisa mengubah tangga itu jadi perosotan saja sehingga aku tidak perlu ber’aduh-aduh’ ria hanya untuk mandi ke bawah karena kamar mandi di kosan ini berada di lantai dasar. Penderitaanku semakin lengkap dengan keharusan untuk menaiki jembatan penyebrangan yang ada di depan kampus, hanya melihat seberapa tingginya saja sudah terasa capeknya, itu baru dilihat lho belum dinaikki. Tapi sudahlah, aku hanya bisa beristighfar dalam hati dan berusaha melupakan bahwa sepanjang hari ini kakiku benar-benar sakit.
Sore itu aku pulang ke kosan dalam keadaan yang amburadul (capek, sebal, kesal, bete, badmood!). Pokoknya berasa semua kekesalan itu bersarang padaku. Sesampainya di kamar, kujatuhkan diriku ke kasur nan empuk. Entah mengapa tiba-tiba muncul perasaan sesak, ada gemuruh di hati ini, perasaan rindu yang telah lama tertimbun pun menyeruak keluar tidak bisa terbendung lagi. Tak sengaja kulihat foto keluargaku yang tertempel di stereoform yang kupajang di dinding kamar tepat di sebelah kasur nan empuk. Kupandangi satu persatu sosok yang ada dalam potret itu. Ada Mama, Papa dan kedua adikku yang luar biasa bandelnya, mereka tersenyum dengan bahagia. Entah kenapa disaat sulit seperti ini aku jadi merindukan mereka, terutama Mama. Teringat dulu jika aku sakit Mama selalu ada disampingku. Sedikit-sedikit menanyakan bagaimana kondisiku. Sedikit-sedikit menyuruhku makan. Sedikit-sedikit menceramahiku yang kurang bisa menjaga kondisi tubuh, pokoknya sampai aku kesal karena sedikit-sedikit menengokiku ke kamar, kan aku jadi tidak bisa tidur dengan tenang. Tetapi justru hal yang mengesalkan itulah yang sekarang kurindukan. Karena jika kulihat pintu kamar kosku saat ini, tidak akan ada kepala mama yang menyembul dari balik pintu. Tidak akan ada suara cerewet mama yang terdengar dikamar ini.
Perlahan kualihkan mataku kearah kulit jeruk yang teronggok di sudut ruangan, entah kenapa senyum mama terpantul di permukaan kulit jeruk itu. “Mama, aku kangen nih..” dengan lirih kubisikkan kata-kata itu. Tiba-tiba timbul keinginan yang tidak terbendung lagi di dalam diriku, yaitu update status di facebook! Aku memencet tuts handphoneku dengan lihai. Aku menulis sebuah kalimat, ’Kayaknya bakal sakit nih...’. Setelah selesai update status, aku kembali merenung, “Mama oh Mama, aku ingin pulang..” kunyanyikan lagu Nike Ardila yang walaupun ‘jadul’ (Jaman Dulu) tetapi benar-benar merefleksikan suasana hatiku saat ini. Bertetes-tetes air bening hangat seketika mengalir deras di pipiku. Selagi aku menghayati tangisanku, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. “Braak!” munculah Mbak’e dan Kiko yang langsung melontarkan berbagai pertanyaan padaku seputar statusku di Facebook. Mereka adalah teman sekampus yang juga satu kosan denganku.
Ceritanya mereka hanya mau konfirmasi saja, eh mereka malah jadi memergokiku yang sedang bercengeng-cengeng ria. Kontanlah aku kaget dan cepat-cepat mengucek-ngucek mata seperti baru habis bangun tidur. Padahal nggak berguna banget aksi ini karena sudah jelas-jelas tadi aku sedang menangis sesenggukan. Intinya mereka melihatku yang benar-benar dalam keadaan memalukan deh. “Kenapa to, Kit? Aku lihat statusmu di Facebook katanya kamu sakit ya? Udah makan belum? Aku bikinin telur dadar ya?” Mbak’e menanyaiku dengan logat Jawa nya yang lumayan kental sambil menunjukan ekspresi khawatir. “Iya, Kit..kalau lagi ada masalah mah cerita ajah, kalau sakit jangan dipendem sendiri” Kiko dengan logat Sunda nya jadi ikut-ikutan khawatir. Pada saat inilah aku baru menyadari, inilah ruginya curhat di Facebook! Ketika kamu sedang menangis bermelankolis seorang diri tiba-tiba orang akan datang ke kamarmu dan memergokimu. “Aku nggak mendem kok, tadi kan aku cerita di Facebook..” kataku membela diri. Sebenarnya pada saat itu mereka masih belum puas dengan jawabanku dan masih menuntut kejelasan mengapa aku menangis, akhirnya kukatakan saja kalau aku ini sedang homesick. Mereka pun jadi lega karena sudah tahu penyebabnya. Entah mengapa pada momen seperti inilah aku merasa sangat bahagia memiliki sahabat seperti mereka, jadi merasa tidak sendiri di kota yang ramai ini.
Tak lama berselang setelah itu, teman sekamarku yang berperawakan kecil pulang, namanya Oka. Ketika dia baru saja datang dia langsung konfirmasi soal status Facebook ku. “Okit, kamu udah makan? Kamu sakit apa?” Oka bertanya dengan wajah khawatir. “Aku cuma sakit kaki kok.. Pegal-pegal karena latihan futsal. Aku udah makan, tadi dibikinin telur dadar sama Mbak’e”. Lalu setelah konfirmasi tentang keadaanku dia pergi lagi entah kemana. Karena aku merasa kesepian, mampirlah aku kekamarnya Mbak’e. Kita mengobrol selama kurang lebih 15 menit. Lalu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Ternyata Oka datang dengan membawa segelas wedang jahe di tangannya. “Okit, ini wedang jahe katanya bisa ngurangin pegel. Pokoknya harus kamu minum ya,, aku mau kerja kelompok dulu di lantai bawah”. Setelah aku mengucapkan terima kasih dia pun turun ke bawah untuk kerja kelompok bersama teman-temannya.
Ketika kuminum wedang jahe itu, entah mengapa aku jadi merasa terharu. Hal yang pertama kali kurasakan adalah hangat. Ya, aku merasa seperti Mama yang membuatkan wedang jahe ini, padahal yang membuatnya kan Oka. Aku hanya merasa ketika aku sedang sakit seperti sekarang, Mama mengirimkan doanya dan doa itu dikabulkan dalam bentuk wedang jahe yang dikemas dengan segelas kebaikan hati dari Oka. Kuminum wedang jahe itu perlahan-lahan agar hangatnya semakin terasa lebih lama di tubuhku. Diam-diam kuresapi apa yang telah terjadi hari ini. Ya Allah, aku memang merasa lelah dengan hidupku tapi ketika lelah itu datang, Engkau mengirimkan penyembuh yang manjur yaitu kasih sayang dari orang-orang yang ada disekelilingku. Kau kembali mengingatkanku untuk bersyukur bahwa hidup ini bukan sekedar rasa capek, ada kebahagiaan dibaliknya. Kau menyadarkanku bahwa kasih sayang orang tua itu manis semanis jeruk dan kebaikan hati sahabat itu sehangat wedang jahe. Aku pun menyadari bahwa jeruk yang paling manis serta wedang jahe yang paling hangat adalah ‘Ridho’-Mu yang selalu Kau berikan padaku melalui sulur-sulur kasih sayang dari orang-orang terdekatku.
~End~
22 April 2010
Di sudut perpustakaan kampus.
0 komentar:
Posting Komentar